Rabu, 13 April 2011

sistem hukum di Indonesia 3


Keadaan Hukum di Indonesia


Oleh Muchyar Yara
Jeremy Bentham, salah seorang hakim pada supreme court (SC), mengatakan, "Lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah daripada menghukum satu yang tidak bersalah,"
Apa arti ucapan Jeremy Bentham tersebut?
Ketika hukum membebaskan 10 orang yang bersalah, maka berarti hukum telah melakukan kekeliruan (secara tidak disengaja) atau karena kemampuan hukumnya terbatas. Tetapi, ketika hukum (pengadilan) menghukum satu orang yang tidak bersalah, maka berarti pengadilan telah melakukan. kezaliman. Tentunya Jeremy Bentham di sini tidak bermaksud mengatakan, "Bebaskanlah seluruh orang yang bersalah."
Pembebasan orang yang bersalah di sini dimaksudkan semata-mata karena kekeliruan murni (bukan kesengajaan) atau ketidakmampuan sesaat di mana hukum tidak mampu membuktikan kebersalahan orang yang bersangkutan. Kekeliruan dalam hukum adalah hal yang wajar sepanjang-tidak bersifat permanen. Sebab, hukum dibuat dan dilaksanakan oleh manusia. Tetapi, manakala hukum melakukan kezaliman, berarti juga hukum itu telah digunakan oleh manusia untukmelakukan kezaliman.
Karena hukum (yang dibuat oleh manusia) bertujuan mencegah kezaliman, tetapi ketika dilaksanakan menciptakan kezaliman, maka pelecehan terhadap tujuan hukum itu sendiri merupakan kezaliman yang terbesar. Ucapan Jeremy Bentham di atas tampaknya tidak bisa diterapkan di Indonesia dewasa ini. Sebab, masyarakat Indonesia sama sekali tidak bisa membedakan orang yang dibebaskan itu adalah seorang yang bersalah ataukah seorang yang tidak bersalah.
Ketika seseorang terkait pada titik yang paling awal dari proses hukum (penyidikan), yaitu ketika terhadap seseorang diterbitkan surat penetapan sebagai tersangka, maka pada detik itu pula yang bersangkutan telah ditetapkan bersalah oleh masyarakat. Padahal, ini jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip praduga tak bersalah.
Kemudian, ketika orang yang telah ditetapkan bersalah sebelumnya itu dinyatakan bebas oleh hukum (pengadilan), maka masyarakat beranggapan bahwa hukum telah melakukan kekeliruan, dan hukum (pengadilan) telah melakukan sesuatu yang tidak wajar.
Masyarakat yang sejak titik awal proses hukum (penyidikan) telah sangat yakin bahwa yang bersangkutan itu bersalah, tidak bisa menerima keputusan hukum/pengadilan yang bertentangan dengan keyakinannya. Pada gilirannya masyarakat tidak bisa menerima keputusan hukum/pengadilan yangbersangkutan, serta menganggapnya bertentangan dengan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Mengapa fenomena ini hidup di kalangan masyarakat kita dewasa ini? Mari kita mencoba menjawab pertanyaan di atas, dengan menggunakan delik korupsi sebagai bahan pembahasannya. Pertama, sebagian lapisan elite masyarakat menilai bahwa keterpurukan kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini bersumber dari praktik korupsi di berbagai lapisan dan unsur birokrasi/kekuasaan. Pada tahap ini penilaian elite masyarakat dapat dibenarkan.
Kedua, penilaian lapisan elite masyarakat ini diambil oleh lembaga pers dan dijadikan isu sosial. Dengan demikian, penilaian tersebut berkembang menjadi penilaian masyarakat secara keseluruhan, yaitu korupsi adalah sumber keterpurukan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, pada tahap ini "korupsi sama dengan kejahatan" telah menjadi opini publik (public opinion).
Sementara itu, jauh sebelumnya hukum juga telah menetapkan bahwa "korupsisama dengan . kejahatan". Namun, sekalipun perumusannya sama antara rumusan opini publik dan rumusan hukum, tetapi maknanya jauh berbeda. Jika menurut opini publik, korupsi pada saat yang bersamaan identik dengan kejahatan, maka menurut hukum, korupsi itu baru identik dan baru menjadi kejahatan setelah melalui proses pembuktian kesamaannya secara hukum (melalui proses peradilan).
Menurut opini publik, seseorang telah dianggap bersalah (melakukan korupsi) pada saat awal yang diketahui terkait dengan suatu perkara korupsi (dari pemberitaan pers). Sedangkan menurut hukum, seseorang baru dapat dianggap bersalah atau tidak bersalah pada akhir proses hukum.
Ketiga, dalam rangka menjaga atau memperoleh dukungan masyarakat, maka pemerintah atau partai politik mengakomodasi opini publik korupsi sama dengan kejahatan menjadi program politiknya dan mencanangkan slogan politik "basmi korupsi" dan melakukan serangkaian tindakan pembuktian. Di antaranya dengan membentuk berbagai badan yang bertujuan untuk membasmi korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) sebagai tambahan badan penyidik hukum yang sudah ada sebelumnya, yaitu kejaksaan dan kepolisian.
Keempat, slogan politik "basmi korupsi" diterima oleh masyarakat sebagai dukungan dan komitmen pemerintah atasopini publik yang selama ini telah diyakini kebenarannya. Reaksi pemerintah itu menambah keyakinan dan semangat masyarakat yang disalurkan melalui pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintah di dalam pembasmian korupsi yang sejalan dengan opini publik.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika badan-badan penyidik hukum yang berada di bawah kendali pemerintah berlomba menjalankan kegiatannya dalam rangka memuaskan opini publik ini. Misalnya, melalui langkah penahanan terhadap tersangka korupsi tanpa mengindahkan prinsip praduga tak bersalah dan tanpa memperhatikan syarat-syarat teknis penahanan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Sampai pada tahap ini opini publik memperoleh bentuknya yang solid, yaitu seseorang yang terkait dalam kasus korupsi adalah bersalah (bahkan sebelum diputuskan oleh hu-kum/pengadilan). Sedemikian dahsyatnya kekuataan opini publik ini, sampai-sampai lapisan ahli hukum yang ada di tengah masyarakat pun terbawa arus ini.
Tidak jarang di antara ahli-ahli hukum (terutama yang bergiat di LSM) bahkan menjadi "juru bicara" yang paling vokal di dalam menyuarakan opini publik ini, tanpa menguasai duduk perkara korupsi yang bersangkutan secara hukum (tanpa membaca/mengetahui catatan/berkas perkaranya). Pada tahapan ini sering opini publik yang disuarakan oleh para ahli hukum justru melanggar prinsip contemps of court.

Sumber : http://bataviase.co.id/node/287416

Tidak ada komentar:

Posting Komentar